Tuan Guru Martapura Tersangka Pencabulan 20 Santri Dengan Modus Ritual!
Tuan Guru Martapura menjadi tersangka pencabulan setelah terungkapnya aksi bejat yang dituduhkan kepadanya, melibatkan 20 santri.
Modus operandi pelaku menggunakan ritual “membuang sial” untuk mengelabui korban, menarik mereka ke dalam tindakan asusila yang telah berlangsung sejak 2019. Keberanian satu santri untuk melapor memicu pengakuan dari korban lain, mengungkap trauma mendalam yang dialami. Kasus ini mengguncang komunitas pesantren dan memicu seruan perlunya perlindungan lebih bagi anak-anak di lingkungan pendidikan agama. Dibawah ini VIEWNEWZ akan membahas tentang Tuan Guru Martapura tersangka pencabulan 20 Santri dengan modus ritual.
Awal Mula Kasus
Kisah ini bermula pada Januari 2025, ketika salah satu santri yang berani melaporkan tindakan cabul ini kepada pihak berwajib. Setelah menunggu selama bertahun-tahun, keberanian tersebut menjadi titik balik bagi para korban lainnya untuk mengungkapkan penderitaan mereka. Jumlah santri yang melaporkan perilaku bejat MR pun terus meningkat, dari satu menjadi lima, dan bahkan lebih banyak lagi mengingat belum semua santri berani bersuara.
MR, yang menjabat sebagai pimpinan Pondok Pesantren Nurul Ilmi, telah melakukan pencabulan ini dengan dalih mengikuti ritual “membuang sial”. Ritual ini, yang seharusnya menjadi bagian dari spiritualitas dan perlindungan, justru disalahgunakan oleh pelaku sebagai kedok untuk melakukan tindakan asusila. Modus operandi ini menunjukkan betapa pelaku mengandalkan kepercayaan para santri terhadapnya sebagai seorang guru agama untuk memuluskan niat jahatnya.
Modus Operandi Pelaku
Berdasarkan pengakuan sejumlah saksi dan hasil penyelidikan, MR memanggil santri untuk mengikuti ritual tanpa menjelaskan secara mendetail tentang tujuan dan prosesnya. Dalam ritual tersebut, pelaku sering kali meminta para santri untuk melakukan tindakan yang tidak layak dan melanggar batasan moral. Pelaku memanfaatkan pengaruh dan posisi otoritasnya untuk mengontrol serta intimidasi korban langkah demi langkah. Ketika korban mulai merasa tidak nyaman, MR biasanya memberikan iming-iming uang atau barang berharga untuk menjaga agar mereka tetap diam.
Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Banjar, Ipda Anwar, menjelaskan bahwa jiwa anak yang rentan dan ketergantungan mereka terhadap sosok autoritas seperti MR menjadi faktor utama dalam perilaku cabul ini. Sangat disayangkan, tuan guru yang seharusnya melindungi dan mendidik, justru melanggar nilai-nilai luhur tersebut.
Baca Juga:
Dampak pada Korban
Dampak dari tindakan MR tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis. Banyak santri yang terjebak dalam trauma akibat perilaku pelaku. Mereka merasa tertekan dan takut untuk melaporkan apa yang mereka alami. Karena MR telah menakut-nakuti mereka dengan ancaman akan melaporkan balik jika mereka berbicara. Ancaman ini membuat beberapa santri merasa terisolasi dan tidak mampu mencari pertolongan dari orang lain.
Sebagai tambahan, pengalaman traumatis ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari mereka, menjadikan beberapa dari mereka mengalami gangguan mental yang serius. Tidak jarang, mereka merasa hina dan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Pengalaman buruk ini pun mengakibatkan kebingungan tentang kepercayaan mereka yang selama ini di bangun di dalam lingkungan pesantren.
Tanggapan dari Masyarakat dan Pemerintah
Setelah berita ini terungkap, reaksi masyarakat sangatlah negatif. Banyak orang tua dan guru merasa terluka dan marah atas kejadian ini. Mereka mulai menuntut agar lembaga pendidikan, khususnya pesantren, meningkatkan sistem pengawasan internal dan memberikan pendidikan yang lebih baik mengenai hak-hak anak, sekaligus memperkuat peran orang tua dalam mengawasi aktivitas anak-anak mereka.
Dari sisi pemerintah, kasus ini menjadi peringatan serius. Banyak instansi terkait yang mulai mengkaji ulang kebijakan perlindungan terhadap anak di lembaga sekolah dan pesantren. Butuh kerjasama antara kepolisian, dinas sosial, dan lembaga perlindungan anak untuk memastikan bahwa kasus serupa tidak terjadi lagi di masa depan.
Beberapa lembaga juga mengusulkan program pelatihan untuk para pendidik dalam memahami tanda-tanda perilaku penyalahgunaan, sehingga mereka dapat bertindak cepat saat ada indikasi yang mencurigakan.
Upaya Kemanusiaan dan Penyembuhan Korban
Untuk mengatasi dampak psikologis dari kejadian ini, sejumlah organisasi dan lembaga sosial mulai bergerak melakukan pendampingan bagi para santri yang menjadi korban. Mereka menawarkan konseling gratis untuk membantu pemulihan mental dan emosional para santri.
Selain itu, pemerintah dan organisasi non-pemerintah juga mulai merancang program pendidikan untuk memberikan pemahaman kepada anak-anak dan orang tua tentang hak-hak anak dan bagaimana melindungi diri dari bahaya. Pendekatan yang berorientasi pada pencegahan ini di harapkan dapat mengurangi kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di masa mendatang.
Penutup
Kasus pencabulan yang terjadi di Martapura ini, yang melibatkan pimpinan pondok pesantren, menunjukkan betapa pentingnya perlindungan anak di lingkungan pendidikan. Setiap individu, termasuk santri yang menjadi korban. Memiliki hak untuk merasa aman dan terlindungi dalam suatu lembaga.
Kita harus menjadi lebih waspada dalam menghadapi potensi ancaman terhadap anak-anak. Terutama di tempat yang seharusnya menjadi sumber ilmu dan ketenangan. Semoga kejadian yang memilukan ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua dalam memperkuat sistem perlindungan anak dan menjaga masa depan generasi penerus. Dukungan dan perlindungan bagi para santri harus menjadi prioritas. Demi menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan.