Bayar Lebih Murah, Dapatkan Rokok Lebih Banyak: Fenomena Downtrading di Indonesia!
Perilaku masyarakat Indonesia dalam memilih rokok murah semakin meningkat yang dinamakan Fenomena Downtrading.
Terbukti dari sejumlah data yang menunjukkan bahwa perokok beralih ke jenis rokok yang lebih terjangkau. Untuk menangani Fenomena Downtrading ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan berupaya menerapkan sejumlah strategi yang diharapkan dapat mengatasi pergeseran pola konsumsi ini. Mari kita bahas lebih dalam kasus ini hanya di VIEWNEWZ.
Penurunan Produksi Rokok Golongan I
Berdasarkan data terbaru dari DJBC, produksi hasil tembakau untuk golongan I mengalami penurunan yang signifikan pada tahun 2024. Hanya mencapai 159,1 miliar batang, angkah tersebut menunjukkan penurunan dari 171,1 miliar batang pada tahun sebelumnya. Penurunan drastis ini jelas menggambarkan bahwa konsumen mulai menjauhi rokok dengan harga tinggi.
“Ini bisa jadi tanda bahwa masyarakat lebih memilih pilihan yang lebih ekonomis,” ungkap salah satu analis industri rokok. Di sisi lain, produksi rokok yang lebih murah, yakni golongan II, justru meningkat dari 87,6 miliar batang menjadi 89 miliar batang. Hal ini beriringan dengan lonjakan produksi rokok golongan III yang melejit dari 59,4 miliar batang menjadi 67,3 miliar batang.
Lihat saja, pergeseran preferensi ini tidak hanya mengubah pola konsumsi, tetapi juga berdampak pada industry hulu yang memproduksi rokok ini.
Dampak Produksi Sigaret Kretek Mesin dan Sigaret Putih Mesin
Di samping penurunan produksi golongan I, jenis rokok sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) juga mengalami penurunan drastis. Produksi SKM golongan I turun dari 118,2 miliar batang menjadi hanya 96,52 miliar batang. Sementara itu, SPM golongan I juga tercatat anjlok dari 4,42 miliar batang menjadi 3,19 miliar batang.
Penurunan ini menunjukkan jelas bahwa perokok yang mencari alternatif lebih terjangkau berpindah ke produk yang lebih murah. Ini adalah hal yang patut di catat bagi pihak industri rokok yang kini harus berhadapan dengan tantangan baru di pasar.
Lonjakan Produksi Sigaret Kretek Tangan
Kompleksitas adanya Fenomena Downtrading ini tidak berhenti di situ saja. Sementara produksi untuk kategori rokok mahal atau golongan I menurun, produksi sigaret kretek tangan (SKT) justru melonjak dengan signifikan. Produksi SKT golongan III mengalami peningkatan dari 59,42 miliar batang ke 67,34 miliar batang.
“Dari data yang ada, kita bisa lihat bahwa perokok beralih dari produk mahal ke produk yang lebih terjangkau, dan SKT jelas menjadi pilihan yang populer,” papar Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna DJBC, Nirwala Dwi Heryanto, dalam konferensi pers di Kantor Pusat DJBC, Jakarta, Jumat, 10 Januari 2025.
Peningkatan produksi SKT ini memberikan pertanda bahwa para produsen rokok berusaha memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat untuk rokok murah.
Lonjakan Tenaga Kerja Pabrik Rokok
Kenaikan produksi SKT dan rokok golongan III ternyata membawa dampak positif bagi tenaga kerja di industri rokok. Pada tahun 2024, jumlah tenaga kerja pabrik rokok melonjak menjadi 301.113 orang, naik dari 278.732 orang di tahun 2023. Angka ini bahkan menjadi yang tertinggi dalam sepuluh tahun terakhir, mengungguli tahun 2014 yang hanya memiliki 183.094 orang.
“Tentunya kalau SKT meningkat, tenaga kerja yang di serap juga meningkat,” jelas Nirwala di hadapan para wartawan. Lonjakan tenaga kerja ini menunjukkan betapa dinamisnya industri rokok dalam menghadapi pergeseran preferensi konsumen.
Kondisi ini pun membantu perekonomian lokal, serta meningkatkan lapangan kerja bagi masyarakat di sekitar pabrik rokok.
Baca Juga:
Kenaikan Dokumen CK-1 dan Implikasinya
Kenaikan dokumen CK-1 menggambarkan tren pergeseran konsumsi rokok di Indonesia, dengan jumlah dokumen pada tahun 2024 mencapai 100.552, meningkat dari sebelumnya yaitu 70.822 pada tahun 2023. Angka ini merupakan yang tertinggi dalam lima tahun terakhir, menunjukkan bahwa masyarakat semakin tertarik untuk mengonsumsi jenis rokok yang lebih murah.
Hal ini sejalan dengan data produksi yang mencatat peningkatan signifikan pada jenis sigaret kretek tangan (SKT) yang lebih terjangkau di bandingkan dengan sigaret kretek mesin (SKM). “Memang, dokumen CK-1 ini menunjukkan perubahan jenis pita cukai yang dipesan dan preferensi konsumsi masyarakat di tahun 2024 bergeser ke jenis SKT dari SKM,” ungkap Kasubdit Tarif Cukai dan Harga Dasar, Akbar Harfianto.
Penjelasan ini mencerminkan dampak dari sistem tarif yang diberlakukan oleh pemerintah, di mana konsumen lebih cenderung memilih produk yang dapat memberikan nilai lebih ekonomis. Pergeseran ini tidak hanya mencerminkan perilaku konsumen, tetapi juga membawa implikasi nyata bagi industri rokok dan kebijakan perpajakan yang diterapkan.
Strategi Pemerintah untuk Mengatasi Masalah Downtrading
Pemerintah menghadapi tantangan nyata dalam bentuk downtrading, di mana masyarakat beralih dari rokok mahal ke rokok murah. Untuk menanggulangi pergeseran tersebut, DJBC mengambil kebijakan untuk tidak menaikkan tarif cukai hasil tembakau pada tahun 2025. Sebaliknya, mereka hanya akan mengatur kenaikan harga jual eceran (HJE) yang, rata-ratanya, naik sebesar 10%.
“Ini adalah langkah untuk menjaga agar konsumen tetap merasa aman dan tidak terlalu tertekan dengan kenaikan harga,” tegas Akbar saat menjelaskan kebijakan tersebut.
Dari segi strategi pengaturan kenaikan HJE, golongan I mengalami kenaikan yang lebih rendah dibandingkan golongan II. Ini memastikan bahwa konsumen di golongan I tetap mendapatkan akses kepada produk dengan harga yang lebih terjangkau.
Kebijakan Kenaikan HJE yang Mempertimbangkan Konsumen
Dengan program ini, kenaikan harga jual eceran (HJE) pada 2025 akan berpihak pada konsumen untuk mengatasi masalah downtrading. Kenaikan HJE untuk golongan I hanya 5%, sementara untuk SKM golongan II mencapai 7,6%.
Akbar juga menambahkan bahwa pemerintah telah menerapkan sistem monitoring harga SKT, yang rata-rata harga pasarnya harus berada di atas harga bandrol. Hal ini membuat kenaikan harga SKT relatif lebih tinggi dari SKM, menciptakan insentif bagi para produsen untuk memenuhi permintaan pasar tanpa meningkatkan risiko downtrading lebih jauh.
“Ini adalah skema yang kita gunakan untuk atasi kondisi 2025. Kita berusaha menyeimbangkan kebutuhan industri dan kekhawatiran konsumen terhadap harga rokok,” tutup Akbar.
Kesimpulan
Fenomena Downtrading atau meningkatnya minat terhadap rokok murah di Indonesia menunjukkan sebuah tantangan dan peluang bagi pemerintah serta industri rokok. Melalui strategi yang tepat, DJBC berusaha untuk menghadapi perubahan ini dengan kebijakan yang fleksibel dan responsif. Selaras dengan perubahan perilaku konsumen, adaptasi yang dilakukan untuk mengatur harga dan produksi adalah langkah positif menuju keberlanjutan industri hasil tembakau di tanah air.
Apabila di ikuti oleh inovasi dan strategi pemasaran yang baik, industri ini bisa tetap beroperasi meskipun dalam kondisi yang tidak menentu. Sekarang, bagaimana pemerintah bisa terus memastikan keberlangsungan industri tanpa mengabaikan kesehatan masyarakat tetap menjadi pertanyaan yang penting!
Keputusan yang di ambil saat ini akan memiliki dampak besar pada masa depan industri tembakau dan kesehatan masyarakat luas. Manfaatkan juga waktu anda untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi tentang semua informasi viral terupdate lainnya hanya di VIEWNEWZ.