Dewan Pers Angkat Bicara Soal Dugaan Intimidasi Pada Penulis Opini Detikcom
Belakangan ini, publik dikejutkan dengan kabar mengenai dugaan intimidasi terhadap seorang penulis opini di situs berita populer, Detikcom.
Penulis yang dikenal dengan inisial YF itu menjadi sorotan setelah artikelnya yang berjudul “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?” mendadak dihapus dari laman Detikcom. Kabar ini tidak hanya menjadi perbincangan hangat di media sosial, tetapi juga memantik diskusi serius tentang kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia.
Di bawah ini VIEWNEWZ akan membahas kasus dugaan intimidasi terhadap penulis opini Detikcom yang memicu kekhawatiran akan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Artikel Dihapus, Keselamatan Penulis Dipertaruhkan
Dalam tangkapan layar yang tersebar luas di media sosial, terlihat sebuah keterangan dari redaksi Detikcom. Keterangan tersebut menyatakan bahwa penghapusan artikel dilakukan atas permintaan langsung dari sang penulis. Dalam pernyataan itu juga disebutkan bahwa alasan penghapusan berkaitan dengan aspek keselamatan, yang diinformasikan sendiri oleh penulis kepada pihak redaksi.
“Redaksi menghapus tulisan opini ini atas permintaan penulis, bukan atas rekomendasi Dewan Pers. Sedangkan alasan terkait keselamatan berasal dari penjelasan langsung penulis opini tersebut,” demikian isi pernyataan resmi itu.
Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa YF sempat mengalami dua kali insiden diserempet oleh sepeda motor yang dikendarai oleh orang tak dikenal, tak lama setelah artikel opini tersebut dipublikasikan. Dugaan intimidasi ini tentu menimbulkan kekhawatiran akan adanya upaya pembungkaman terhadap suara-suara kritis di ruang publik.
Dewan Pers Turun Tangan
Menanggapi kejadian ini, Dewan Pers menyatakan bahwa mereka telah menerima laporan dari penulis opini tersebut. Dalam pernyataan resmi yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Komaruddin Hidayat. Disebutkan bahwa pihaknya belum memberikan rekomendasi atau saran kepada redaksi Detikcom untuk mencabut artikel yang bersangkutan.
“Dewan Pers sampai saat ini belum memberikan rekomendasi, saran, maupun permintaan kepada redaksi Detikcom untuk menarik artikel opini tersebut. Namun, Dewan Pers telah menerima laporan dari penulis dan sedang dalam proses verifikasi serta mempelajari kasus ini,” ujar Komaruddin pada Sabtu, 24 Mei 2025.
Pernyataan tersebut memperjelas bahwa langkah penghapusan konten dilakukan sepenuhnya atas permintaan pribadi penulis. Bukan karena tekanan dari lembaga otoritatif seperti Dewan Pers.
Ayo Kawal Timnas Menuju Piala Dunia - Link Aplikasi Nonton Indonesia vs China dan Jepang vs Indonesia GRATIS! Segera download! APLIKASI SHOTSGOAL
![]()
Menghormati Hak Penulis, Tapi Mengecam Intimidasi
Dewan Pers menegaskan bahwa permintaan seorang penulis untuk mencabut tulisannya adalah hak yang patut dihormati oleh media. Hal ini sejalan dengan prinsip jurnalistik yang juga mengizinkan narasumber untuk mencabut pendapatnya jika dirasa perlu, selama tidak melanggar etika dan hukum yang berlaku.
Namun, terlepas dari hak tersebut, Dewan Pers secara tegas mengecam adanya dugaan tindakan intimidatif yang dialami oleh penulis. Intimidasi terhadap jurnalis maupun penulis opini dipandang sebagai bentuk ancaman terhadap kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri.
“Kami mendesak semua pihak menghormati dan menjaga ruang demokrasi dan melindungi suara kritis dari warga, termasuk mahasiswa,” ucap Komaruddin. Ia menambahkan bahwa penggunaan kekerasan atau tindakan main hakim sendiri tidak bisa dibenarkan dalam negara yang menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia.
Baca Juga:
Kebebasan Berekspresi Dalam Sorotan
Kejadian ini menjadi alarm penting mengenai kondisi kebebasan berekspresi di Indonesia, terutama bagi kalangan intelektual, jurnalis, dan mahasiswa. Ketika kritik terhadap kebijakan atau fenomena sosial justru dibalas dengan ancaman dan kekerasan, maka ruang demokrasi menjadi terancam menyempit.
Artikel YF sendiri sebenarnya mengangkat isu penting tentang keberadaan pejabat berlatar belakang militer yang menempati posisi sipil, sebuah topik yang relevan dalam diskursus meritokrasi dan reformasi birokrasi. Dalam masyarakat demokratis, opini semacam ini seharusnya ditanggapi dengan dialog terbuka, bukan dengan upaya intimidasi.
Kasus ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia secara konstitusional menjamin kebebasan berpendapat, praktik di lapangan tidak selalu mencerminkan hal tersebut. Tantangan yang dihadapi oleh YF menjadi refleksi bagi seluruh elemen masyarakat bahwa perlindungan terhadap kebebasan sipil masih perlu diperjuangkan secara serius.
Kesimpulan
Dugaan intimidasi terhadap penulis opini Detikcom menambah daftar panjang kasus-kasus serupa yang menunjukkan kerentanan kebebasan berekspresi di tanah air. Meskipun redaksi telah bertindak sesuai permintaan penulis, akar persoalannya terletak pada adanya ketakutan dan ancaman terhadap mereka yang berani menyuarakan pandangan berbeda.
Dewan Pers sudah berada di jalur yang tepat dengan melakukan verifikasi atas laporan yang masuk. Namun, lebih dari itu, perlu ada komitmen bersama dari masyarakat, pemerintah, dan aparat hukum untuk melindungi semua bentuk ekspresi sah dalam ruang demokrasi.
Tanpa perlindungan terhadap suara kritis, demokrasi hanya akan menjadi formalitas belaka. Keberanian seorang penulis untuk bersuara seharusnya diapresiasi, bukan dibungkam. Saatnya semua pihak menyadari bahwa kritik bukan musuh, melainkan bagian penting dari proses perbaikan bangsa.
Simak dan ikuti terus VIEWNEWZ agar Anda tidak ketinggalan berita informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari www.tempo.co
- Gambar Kedua dari www.kompas.tv