Trump: Gaza Harus Diambil Alih AS dan Akan Jadikan Zona Kebebasan
Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali menegaskan rencananya yang kontroversial untuk mengambil alih Gaza dan akan jadikan zona kebebasan, memicu kritik dan perdebatan global.
Di bawah ini VIEWNEWZ akan membahas rencana kontroversial Presiden Donald Trump untuk mengambil alih Gaza dan akan jadikan zona kebebasan beserta dampak dan reaksi internasional yang muncul.
Trump Tegaskan Ambisi Ambil Alih Gaza
Dalam sebuah pertemuan bisnis di Qatar pada 15 Mei 2025, Presiden Trump dengan tegas menyatakan bahwa Amerika Serikat akan mengambil alih Gaza, wilayah yang sudah lama menjadi pusat konflik dan penderitaan. Ia berencana menjadikannya sebuah zona kebebasan yang ideal.
Ia menggambarkan kondisi Gaza saat ini sebagai wilayah “yang tidak ada yang dapat diselamatkan karena sebagian besar bangunan sudah hancur dan penduduknya hidup di bawah reruntuhan”. Trump menambahkan, “Saya ingin melihat Gaza menjadi zona kebebasan. Jika diperlukan, saya bangga bila Amerika Serikat mengambilnya, memegangnya, dan membiarkan hal-hal baik terjadi”.
Pernyataan ini mempertegas komitmen Trump untuk memimpin rekonstruksi wilayah yang selama ini menjadi titik sengketa sengit di Timur Tengah.
Konsep Zona Kebebasan dan Rebranding Rencana Awal
Ini bukanlah kali pertama Trump mengemukakan niatnya terhadap Gaza. Awalnya, pada Februari 2025, ia mengusulkan rencana mengambil alih Gaza dengan mengusir penduduk Palestina dan membangun kembali daerah tersebut menjadi sebuah kawasan wisata mewah yang dijuluki “Riviera Timur Tengah”.
Namun konsep itu mendapat penolakan luas, sehingga Trump melakukan rebranding dengan mengganti istilah “Riviera” menjadi zona kebebasan yang secara diplomatis terdengar lebih netral dan humanis.
Ayo Kawal Timnas Menuju Piala Dunia - Link Aplikasi Nonton Indonesia vs China dan Jepang vs Indonesia GRATIS! Segera download! APLIKASI SHOTSGOAL
![]()
Dampak dan Kontroversi Internasional
Gagasan Trump ini langsung memicu kecaman keras dari banyak negara dan organisasi internasional. Palestina menegaskan bahwa tanah mereka bukanlah objek jual beli. Mereka menyatakan bahwa rencana pemindahan paksa penduduk Palestina merupakan tindakan pembersihan etnis yang melanggar hukum internasional.
Negara-negara Arab seperti Mesir, Yordania, dan Arab Saudi juga menolak keras ide tersebut. Mereka menilai bahwa pemindahan penduduk Palestina dari Gaza akan mengguncang stabilitas kawasan. Selain itu, mereka menyatakan bahwa hal tersebut melanggar kedaulatan negara-negara penerima pengungsi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa dan lembaga hak asasi manusia menegaskan bahwa deportasi paksa dari wilayah yang diduduki adalah pelanggaran terhadap Konvensi Jenewa. Kritik juga muncul terkait potensi pelanggaran hukum oleh warga Amerika yang terlibat, yang bisa berujung pada tuntutan di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).
Baca Juga:
Tantangan Politik dan Implementasi
Rencana Trump bertolak belakang dengan posisi historis Amerika Serikat dan komunitas internasional yang selama ini mendukung solusi dua negara sebagai jalan perdamaian antara Israel dan Palestina. Dalam kerangka solusi tersebut, Gaza tetap menjadi bagian dari wilayah yang dikelola Palestina. Israel sendiri tidak pernah mengajukan niat untuk menguasai kembali Gaza.
Sejarah bahkan menunjukkan bahwa Israel telah berusaha menyerahkan kontrol Gaza kepada otoritas Palestina beberapa kali, termasuk melalui penarikan pada tahun 2005. Trump tidak mengumumkan dasar hukum yang mendasari rencananya untuk mengambil alih Gaza. Langkah tersebut bertentangan dengan banyak perjanjian dan norma hukum internasional.
Ia bahkan tidak menutup kemungkinan mengerahkan pasukan militer Amerika untuk mengamankan wilayah tersebut. Hal ini cukup kontras dengan slogan politiknya terdahulu, “America First”, yang menekankan penarikan dari konflik asing.
Negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania telah secara tegas menolak menerima pengungsi dari Gaza. Penolakan tersebut menjadi tantangan besar bagi implementasi rencana Trump, yang memerlukan kerja sama regional untuk menampung jutaan pengungsi.
Reaksi Israel dan Hubungan Diplomatik
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyambut rencana Trump dengan memuji sebagai “visi revolusioner dan kreatif” yang membuka kemungkinan baru bagi masa depan Gaza dan keamanan Israel. Netanyahu melihat konsep “memiliki Gaza” oleh Amerika sebagai solusi berbeda dibandingkan pendekatan tradisional melalui pemerintah Palestina.
Namun reaksi dari dunia Arab berbeda jauh, menambah kompleksitas diplomasi kawasan yang sudah sarat ketegangan. Konflik Israel-Hamas yang dimulai pada Oktober 2023 telah menimbulkan hampir 53.000 kematian warga Palestina dan menyebabkan kerusakan parah di Gaza, menjadikan wilayah tersebut sebagai “zona perang” yang memperburuk situasi kemanusiaan.
Masa Depan Gaza dan Implikasi Global
Dengan rencana Trump yang terus dikemukakan secara terbuka, masa depan Gaza menjadi semakin tidak pasti. Jika Amerika benar-benar mengambil alih Gaza, hal ini akan menjadi keterlibatan terbesar AS di Timur Tengah sejak invasi ke Irak pada 2003. Langkah tersebut juga berpotensi memicu gesekan geopolitik baru di kawasan.
Banyak pengamat mengkhawatirkan dampak jangka panjang dari perpindahan paksa penduduk. Mereka juga menyoroti risiko kolonialisasi wilayah oleh negara asing. Bagi penduduk Gaza, yang sebagian besar adalah pengungsi keturunan, gagasan zona kebebasan terasa jauh dari kenyataan.
Selama puluhan tahun mereka terjebak dalam konflik dan kemiskinan. Meski hidup di reruntuhan, banyak dari mereka tetap memilih bertahan demi mempertahankan tanah air dan identitas mereka. Simak dan ikuti terus VIEWNEWZ agar Anda tidak ketinggalan berita informasi menarik lainnya yang terupdate setiap hari.
Sumber Informasi Gambar:
- Gambar Pertama dari international.sindonews.com
- Gambar Kedua dari news.detik.com